Artikel : Isra Mi’raj dan Rasionalitas Beragama

Penulis: H. Dede Ahmad Permana

(Sekretaris Komisi Fatwa MUI Pandeglang dan Pimpinan Ponpes Terpadu Darul Iman Pandeglang)

Sepulangnya Rasulullah SAW dari perjalanan Isra Mi’raj, kaum Quraisy Makkah terbagi tiga kelompok. Pertama, kelompok yang menolak mentah-mentah penjelasan Rasul tentang peristiwa Isra Mi’raj. Sekalipun beliau telah menjawab semua pertanyaan yang mereka ajukan, bahkan menjelaskan keadaan Masjid al Aqsa sesuai dengan keadaan sebenarnya, mereka tetap tidak mau percaya. Kesombongan telah menutup mata hati mereka dari iman dan kebenaran. Kelompok ini dipimpin oleh Abu Lahab.

Kedua, adalah mereka yang ragu akan kebenaran Isra Miraj. Di satu sisi mereka mengakui bahwa Rasulullah adalah orang yang jujur, tidak pernah berbohong. Di sisi lain, keanehan peristiwa Isra Miraj sulit dimengerti oleh akal. Bagi mereka, Isra Miraj secara fisik adalah sesuatu yang tidak masuk akal, karena itu mustahil terjadi.

Sedangkan kelompok ketiga, adalah mereka yang percaya terhadap kebenaran peristiwa Isra Miraj, sekalipun peristiwa itu dengan penuh keajaiban. Isra Mi’raj, dalam keyakinan mereka, benar terjadi secara fisik oleh Rasulullah. “Meskipun lebih aneh dari itu, asalkan sumbernya dari Rasulullah, aku akan percaya”, demikian kata Abu Bakar Shiddiq r.a, tokoh kelompok ini.

*
Pengelompokan kaum Quraisy menjadi tiga kategori di atas, adalah cermin kondisi realitas umat manusia sekarang, yang juga bisa kita kategorikan ke dalam 3 kelompok dalam menyikapi ajaran Islam.

Kelompok Abu Jahal di era modern, diwujudkan dalam tipe-tipe manusia yang selalu memusuhi Islam. Mereka mengetahui bahwa Islam adalah ajaran terakhir umat manusia, akan tetapi kesombongan telah menutup akal dan mata hati dari cahaya kebenaran. Hati, akal dan pendengaran mereka, tidak lagi digunakan dalam memahami petunjuk Ilahi.

Sebaliknya, mereka mendiskreditkan Islam dan kaum muslimin : menuduh Islam sebagai biang teroris, menjauhkan umat Islam dari agama, serta merusak akhlak generasi muda Muslim dengan berbagai cara. Salah satunya melalui konsep – yang disebut sebagian orang sebagai – 9 F (Food, Fun, Fashion, Freedom, Finance, Film, Faith, Football, Friction).

Kelompok kedua adalah mereka yang selalu mengedepankan rasio dalam memahami ajaran agama. Seolah semua doktrin agama harus selalu sejalan dengan akal sehat manusia. Mereka tidak mau menerima konsep ajaran yang irasional, seperti halnya Isra Mi’raj, karena tidak masuk akal.

Dalam menafsirkan Kitab suci Alquran misalnya, mereka lakukan berdasarkan akal. Mereka tidak mau terikat oleh berbagai persyaratan dan metode yang telah menjadi kesepakatan para ulama terdahulu. Mereka pura-pura lupa dengan perkataan Abu Bakar Ash-Shiddieq ”Langit mana yang akan menaungiku dan bumi mana yang akan kuinjak, andaikata aku menafsirkan Al-Quran dengan akalku?” Artinya, penafsiran Al-Quran hanya dengan akal, walaupun tafsirnya mungkin benar, tetap sebuah kesalahan.

Dalam upaya rasionalisasi ajaran, mereka selalu berdalih dengan hadits Nabi – yang sebenarnya dhoif- , “Agama adalah akal. Tidaklah termasuk orang yang beragama, orang yang tidak memiliki akal”. Dengan hadits itu, seolah mereka ingin “memperkosa” ajaran agama, agar selalu sejalan dengan rasio.

Mereka tidak tahu, bahwa tidak semua ajaran agama bisa dicerna dengan akal. Jika semua ajaran itu rasional, tentulah keharusan mengusap sepatu saat wudlu (mashul khuffain), bukanlah pada bagian atasnya, tetapi pada bagian telapaknya.

Kelompok ideal adalah mereka yang bertipe seperti Abu Bakar Shiddiq, figur yang mampu menyatukan antara hati dan rasio, keimanan dan akal, dzikir serta fikir, dalam memahami berbagai pesan Tuhan yang tertuang dalam ajaran agama.

Mereka menyadari, bahwa di antara ajaran agama, ada yang bisa dicerna dengan akal sehat (ta’aqquli), dan ada pula bagian-bagian tertentu yang hanya bisa diterima oleh mata hati dan keimanan (ta’abbudi).

Ajaran yang ta’aqquli banyak terdapat pada ibadah sosial, seperti mengapa zakat diwajibkan? Mengapa riba dilarang? Sedangkan ajaran yang ta’abbudi umumnya pada ibadah ritual. Misalnya terkait tata cara wudlu, jumlah raka’at shalat, dan lain-lain. Kata Syekh Izzuddin ibn Abdissalam ( w 660 H) dalam kitabnya Qawaid al Ahkam, ajaran yang sifatnya ta’abbudi ini kita amalkan, sebagai bentuk penghambaan dan ketaatan total kepada Tuhan. Ijlalan lirrobbi wanqiyadan ila tha’atihi.

Kelompok ini yakin, bahwa upaya rasionalisasi yang serampangan atas ajaran agama, hanya akan menghilangkan makna spiritual dari agama itu sendiri. Agama tidak lagi menyejukkan. Yang tersisa hanyalah kegersangan dan kehampaan nilai.

*
Sebagai mukjizat, Isra Miraj memang sulit difahami oleh mereka yang dunianya dibatasi hanya sampai dimensi hakikat fisik saja. Perjalanan Nabi dari Makkah ke Jerussalem, kemudian beliau melakukan miraj, naik melewati seluruh derajat eksistensi – ke wilayah kosmos yang paling besar – “suatu tempat yang tiada berbatas” (Sidratul Muntaha ), dan bahkan lebih jauh dari itu hingga pada tempat yang lebih dekat dengan Tuhan, yang digambarkan sebagai maqam “jarak dua bususr” (Qab al Qausaini), merupakan contoh pendakian spiritual dan model kehidupan ruhani.
Bagi kita, peristiwa Isra Miraj menunjuk pada suatu perjalanan ke tingkatan wujud yang lebih tinggi dan bukan hanya perjalanan ke luar angkasa. Lebih dari itu, karena ihwal ruhani merupakan asas bagi ihwal kejiwaan, dan ihwal kejiwaan merupakan asas bagi ihwal fisikal, maka adalah selalu merupakan kemungkinan bagi hakikat yang memiliki tingkatan yang lebih rendah untuk disatukan dan diserap ke dalam realitas yang lebih tinggi.

Karena itulah, jika keseimbangan antara hati dan rasio, akal dan keimanan, dzikir dan fikir, menjadi dasar dalam memahami Isra Miraj, maka tidak ada hal yang memberatkan kita untuk meyakini kebenaran peristiwa ini. Termasuk dalam hal sikap beragama. Agama tidak akan terasa menyulitkan apalagi memberatkan, jika kita menghadapinya dengan asas keseimbangan di atas. Wallahu A’lam.